Ini novel ke-8 karya Tere Liye yang saya baca. Seperti biasa Tere Liye selalu membuat saya meledak-ledak setelah menyelesaikan bukunya.
Novel ini boleh jadi hanya sekedar kisah sederhana, tapi tak urung membuat kita tersenyum, tertawa, sedikit menangis dan berpikir banyak hal. Jangan tanya bagaimana Tere Liye kemudian mengemasnya sedemikian rupa hingga kisah ini menjadi terasa luar biasa dalam kesederhanaanya.
Jika kita berharap menemukan banyak hal yang berharga, novel ini boleh jadi adalah tepat. Tidak hanya kisah cinta, arti sahabat dan kekeluargaan adalah bagian penting di novel ini.
Cara bicara dan kebijakan karakter Pak Tua di novel ini mungkin akan membuat kita menghormati sosoknya, bujang bernama Borno yang berhati lurus dan tampan khas melayu boleh jadi membuat kita jatuh cinta berulang kali. Masih ada gadis bernama Mei, Bang Togar, Andi dan karakter-karakter lain yang akan kita kenal secara pribadi dan selanjutnya akan mengajarkan kita banyak hal baik tentang hidup juga mengenalkan geliat kehidupan sungai Kapuas dan pulau Borneo.
Sepotong kutipan ;
"Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpalan perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi yang lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau cueki, kau lupakan, maka gumpalan cinta ini juga dengan cepat layu seperti kau bosan gulai kepala ikan." - Pak tua
"Ah, kau ini macam lupa saja, Tigor. Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti." - Pak tua
"Amboi, kalian tau? Rasa sedih melihat teman baik menangis ternyata bisa berubah menjadi semangat menggebu tiada tara. Rasa pilu melihat teman baik teraniaya, bahkan konon bisa mengubah seorang pengecut menjadi panglima perang."- Borno
"Maafkan aku, Abang. Seharusnya aku tidak pernah menemui Abang." - Mei